Minggu, 08 Juni 2014

Resensi Buku Sunda: Sejarah, Budaya dan Politik Karya Reiza D. Dienaputra


1.      IDENTITAS BUKU
Judul  buku           : SUNDA
Anak judul            : Sejarah, Budaya dan Politik
Pengarang             : Reiza D. Dienaputra
Edisi buku             : Cetakan pertama, Juli 2011
                                Cetakan kedua, Maret 2012
Penerbit                 : Sastra Unpad Press
Tempat terbit         : Jatinangor, Jawa Barat
Tahun terbit           : 2012
Halaman awal       : i - x
Halaman isi           : 1 - 193
ISBN                     : 978-602-8795-61-2

2.      ISI BUKU
Buku yang ditulis oleh Reiza D. Dienaputra ini menjelaskan sekitar Sunda, yang meliputiSunda Sejarah, Budaya dan Politik. Buku ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama tentangSunda dan Sejarah, dalam bagian ini dijelaskan bagaimana urang Sunda pada masa lalu, dan permasalahan-permasalahan yang terdapat didalamnya dijelaskan dalam buku ini, seperti peristiwa Bojongkokosan, Bandung Lautan Api, dan Hijrah Siliwangi. Pada bagian kedua buku ini yaitu tentang Sunda dan Budaya, pada bagian ini dijelaskan bagaimana kebudayaan yang ada di urang Sunda, sudah menjadi hal tidak asing lagi di suatu daerah pasti ada yang namanya kebudayaan, karena kebudayaan itu sendiri berasal dari kata “budaya” yang artinya hasil cipta, karsa dan karya manusia. Maka di bagian ini dijelaskan bagaimana potret kebudayaan urang Sunda, yaitu dilihat dari tradisi tulis menulis dan bahasa yang digunakan di urang Sunda. Kemudian untuk bagian ketiga buku ini adalah menjelaskan bagaimana Sunda dan Politik, terutama perpolitikan yang ada di Cianjur, dijelaskan pula bahwa persentuhan urang Sunda dengan politik sudah berlangsung sejak lama yaitu ketika berdirinya kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5.

Pada bagian pertama buku ini adalah bahwa Reiza telah menjelaskan mengenai Sunda dan Sejarah. Sejarah adalah peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau yang melibatkan manusia sebagai pelakunya, dan tidak terlepas dari ruang dan waktu. Berbicara mengenai sejarah Sunda tidak hanya sekedar dimaknai secara statis sebagai informasi atau rangkaian fakta tentang masa lalu urang Sunda tetapi juga perlu dimaknai secara dinamis sebagai media untuk memahami dan menata perjalanan hidup urang Sunda pada saat ini dan nanti. Akan tetapi Sejarah Sunda sebagai milik urang Sunda tampak kurang mendapat perhatian untuk dimumule dengan baik karena rendahnya kesadaran urang Sunda akan pentingnya sejarah Sunda.
Adapun titik tolak sejarah urang Sunda yaitu kita bisa lihat dengan berdirinya kerajaan pertama yaitu kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5 M. Dengan lahirnya kerajaan pertama ini mempunyai makna penting bagi peradaban urang Sunda, yaitu merupakan salah satu etnis pertama di nusantara yang bersentuhan dengan tulisan. Bukti persentuhan urang Sunda dengan tulisan ini kemudian dijadikan titik tolak era sejarah dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
Terlepas dari hal itu untuk memaknai sejarah Sunda kita bisa lihat dari tiga guna sejarah, yaitu:
a.       Untuk melestarikan identitas kelompok dan  memperkuat daya tahan kelompok bagi kelangsungan hidup.
b.      Untuk mengambil pelajaran dan teladan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu.
c.       Sejarah dapat berfungsi sebagai sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati atau mengetai tempat manusia diatas muka bumi ini.
Selain itu urang Sunda juga mempunyai sejarah yang memainkan peranan penting dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa ini. Yaitu dengan terjadinya peristiwa Bojongkokosan dan Bandung Lautan Api.
Menurut Reiza peristiwa Bojongkokosan yang terjadi di Sukabumi pada tanggal 9 desember 1945, pada pukul 15.00 ini mempunyai makna yang sangat penting, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Untuk melestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok bagi kelangsungan hidup;
b.      Untuk mengambil pelajaran dan teladan dari peristiwa-peristiwa masa lalu;
c.       Sejarah dapat berfungsi sebagai sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati atau mengenai manusia di atas muka bumi ini.
Adapun alasan wilayah dipilihnya Bojongkokosan sebagai tempat penghadangan ini adalah karena wilayahnya yang strategis dan merupakan daerah berbukit-bukit yang terletak memanjang di antara kedua tepi jalan raya sepanjang kurang lebih 400 meter.
Selain peristiwa Bojongkokosan yang terjadi di Sukabumi, Bandung pun ikut berperan dalam menghadang sekutu. Karena Bandung pun menjadi target penguasaan sekutu yaitu sekutu berusaha membersihkan bandung Utara dan Bandung Selatan. Sebagai langkah awal sekutu berupaya membersihkan Bandung Utara dari orang-orang pribumi dann pasukan bersenjata, baik TKR (TRI) maupun lascar-laskar perjuangan. Pada tanggal 27 November 1945 sekutu mengeluarkan sebuah ultimatum agar rakyat dan semua pasukan bersenjata keluar dari wilayah Bandung Utara paling lambat pukul 12 siang tanggal 29 November 1945.
Sedangkan langkah sekutu yang dilakukan di Bandung Selatan adalah tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan di Bandung Utara yaitu membersihkan Bandung Selatan dari pasukan TRI dan lascar-laskar perjuangan, dan mengeluarkan ultimatum pada tanggal 17 Maret 1946, dan batas akhirnya adalah 24 Maret 1946 jam 24.00.
Dengan adanya peristiwa Bandung Lautan Api ini mempunyai makna yang bisa kita jadikan sebagai sebuah pelajaran, diantaranya adalah:
a.       Adanya kesadaran yang tinggi akan adanya identitas yang tinggi sebagai bangsa yang merdeka;
b.      Adanya kerelaan berkorban dari segenap elemen masyarakat demi tercapainya tujuan bersama;
c.       Kemanunggalan tentara dengan rakyat;
d.      Merupakan sebuah daya mati jika kurangnya kapasitas dan lemahnya koordinasi untuk menjalankan secara optimal aksi pembumihanguskan.
Pada bagian pertama ini juga sekilas dijelaskan mengenai sejarah Jawa Barat yang merupakan salah satu propinsi tertua yang ada di Indonesia, dan merupakan propinsi yang menjadi hunian yang multi etnis dan secara otromatis multi budaya.
Adapun lahirnya sejarah Jawa Barat menurut Reiza dapat dibagi dalam dua pembentukan diantaranya:
a.       Dibentuk pada tanggal 1 Januari 1926 dan tertuang dalam Staatsblad tahun 1925 Nomor 378 tanggal 14 Agustus. Dan ini merupakan produk pemerintah kolonial Belanda yangndapat dikatakan berakhir pada tahun 1942 setelah Jepang menghapus wilayah administrasi pemerintahan setingkat propinsi.
b.      Kelahiran kembali Jawa Barat sebagai sebuah propinsi terjadi pada tanggal 19 Agustus 1945 dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Secara umum sejarah Jawa Barat dapat didekati dengan membaginya dalam dua periodisasi besar, yakni masa sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan. Masa sebelum kemerdekaan meliputi masa Hindu-Budha, masa Islam, masa penetrasi Barat, dan masa penetrasi Jepang. Sedangkan pasca kemerdekaan ditandai dengan berbagai peristiwa besar, diantaranya Peristiwa Bojongkokosan, Bandung Lautan Api, dan lain sebagainya.
Menurut reiza bahwa propinsi Jawa Barat kini dihadapkan dengan berbagai tantangan yang semakin berat, yang tidak saja berasal dari luar, tetapi juga berasal dari dalam. Factor dari dalam yaitu denga adanya globalisasi yang semakin intens yang secara kualitatif berbeda dengan era sebelumnya, suka atu tidak suka, telah menempatkan Jawa Barat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari percaturan dunia.
Adapun tantangan dari dalam adalah berkait erat dengan daya tahan penduduknya dalam menghadapi pengaruh mondialisasi, khususnya dalam mempertahankan identitas dan jati dirinya sebagai orang Indonesia, atau lebih khusus lagi sebagai warga Jawa Barat.
            Bagian kedua buku ini adalah menjelaskan antara Sunda dan Budaya. Budaya menurut Koentjaraningrat adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa yang terbentuk dalam tiga wujud baik ide, aktivitas atau interaksi manusia dan benda-benda hasil aktivitas manusia itu sendiri[1].
Menurut Reiza bahwa kebudayaan yang ada di urang Sunda dipandang lemah dan kurang berkembang karena factor berpengaruh paling besar adalah karena ketiadaan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis, dan lisan di kalangan Sunda. Pada intinya adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh orang Sunda. Menurut A. Chaedar dalam buku yang ditulis oleh Reiza ini bahwa ada sebelas ayat sesat yang dapat menyebabkan lemahnya daya tulis, salah satu diantaranya adalah mempunyai rasa “anggapan, anggapan dan anggapan”, mempunyai anggapan bahwa literasi adalah kemampuan membaca, mempunyai anggapan bahwa mahasiswa tidak perlu diajari menulis, dan lain sebagainya. Dan ini terbukti dengan realitas yang ada di urang Sunda. Urang Sunda selalu mengatakan dan beranggapan “ah ntos we cekap abdi mah kieu”, jika urang Sunda terus  berparadigma seperti ini, maka kebudayaan yang ada di urang Sunda tidak akan pernah berkembang. Sehingga apa yang telah dijelaskan oleh Reiza dalam buku ini adalah sangat menggugah bagi para pembaca, khususnya bagi urang Sunda, bahwa lemahnya kebudayaan urang Sunda adalah dilatarbelakangi oleh minimnya karya-karya tulis kebudayaan Sunda dan lemahnya tradisi tulis yang ada di kalangan Sunda, padahala urang Sunda dalam sejarah termasuk orang pertama yang menemukan tulisan.
Selain tradisi menulis salah satu unsure kebudayaan yang ada di urang Sunda adalah “bahasa Sunda” yang sekarang dipandang sudah mulai hilang dengan adanya arus globalisasi. Akan tetapi kita khususnya sebagai urang Sunda jangan kalah dengan yang namanya globalisasi bahkan kalau bisa globalisasi tersebut dijadikan sebagai penguatan bahasa Sunda. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Reiza bahwa banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjadikan bahasa Sunda tetap bertahan dan menaklukkan globalisasi, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Menjadikan bahasa Sunda ramah dengan berbagai perangkat globalisasi;
b.      Mengoptimalisasikan pemanfaatan keluarga sebagai tempat sosialisasi kebudayaan;
c.       Dan pada tingkat pemerintahan perlu adanya penguatan-penguatan political will.
            Kemudian bagian ketiga buku ini adalah menjelaskan bagaimana Sunda dan Politik, terutama sistem politik yang ada di Cianjur. Dalam buku ini dijelaskan bahwa persentuhan urang Sunda dengan politik dapat dikatakan telah berlangsung lama, sama tuanya denga perjalanan bangsa ini. Faktanya adalah ketika kerajaan Tarumanegara yang berdiri pada abad ke-5. Setelah kerajaan ini runtuh kemudian di susul dengan berdirinya kerajaan Sunda Padjajaran dari tahun 670 M sampai 1579 M. akan tetapi dengan runtuhnya kerajaan Sunda ini tidak menghilangkan persentuhan antara Sunda dengan Politik, karena setelah runtuhnya kerajaan Sunda Padjajaran urang Sunda berhasil menciptakan dua pentas politik baru, yaitu kesultanan Cirebon dan Banten.
            Menurut Reiza sejalan dengan Zeitgeist (jiwa zaman) bahwa perpolitikan urang Sunda berhasil menciptkan politik-politik baru yang menunjukan jati diri urang Sunda yang selalu responsive terhadap setiap perubahan yang terjadi. Apalagi di era kemerdekaan panggung-panggung politik urang Sunda semakin lengkap lagi dengan tidak hanya berada pada tataran suprastruktur politik akan tetapi pada tataran infastruktur politik.  


3.   Kelebihan
Buku ini sangat penting untuk dibaca dan dipahami, terutama bagi kalangan urang Sunda. Karena buku ini bisa menyadarkan bagi urang Sunda yang sudah banyak amnesia terhadap sejarahnya sendiri. Padahal sejarah itu tidak hanya sebagai peristiwa yang terjadi masa lalu yang bisa ditinggalkan begitu saja, akan tetapi dibalik peristiwa tersebut terdapat suatu makna yang dapat kita ambil sebagai pelajaran untuk kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
Buku ini adalah berupa kumpulan-kumpulan artikel yang dibukukan dan disusun dengan cara yang berbeda. Dalam buku ini terdapat tiga belas artikel, yaitu 6 artikel mengenai Sunda dan Sejarah, 4 artikel mengenai Sunda dan Budaya, dan 3 artikel mengenai Sunda dan Politik. Buku ini disusun secara sistematis sehingga mudah dipahami bagi yang membacanya.
Dengan membaca buku ini memberikan pelajaran dan pemahaman bagi kita betapa pentingnya sejarah Sunda, dan memberikan motivasi untuk kita terus melestarikan kebudayaan yang ada di urang Sunda, terutama budaya menulis dan bahasa. Yang mana bahasa Sunda sudah mulai mau menghilang dengan adanya arus globalisasi. Khususnya bagi urang Sunda janganlah kalah dengan adanya globalisasi, justru dengan globalisasi tersebut kita jadikan alat sebagai penguat bahasa yang ada di urang Sunda yaitu “bahasa Sunda”, seperti yang telah dijelaskan oleh Reiza dalam buku ini. Selain melestarikan dalam segi bahasa, urang Sunda juga harus memperkuat dalam tradisi tulis menulis sehingga bisa menghasilkan suatu karya, dan urang Sunda adalah orang pertama yang menemukan tulisan harus bisa membuktikan bahwa urang Sunda mampu untuk berkarya menulis.
  Kekurangan
       Buku ini terlalu banyak halaman nya, sehingga terkadang orang malas untuk membacanya.