1. IDENTITAS BUKU
Judul buku :
SUNDA
Anak
judul :
Sejarah, Budaya dan Politik
Pengarang :
Reiza D. Dienaputra
Edisi buku :
Cetakan pertama, Juli 2011
Cetakan
kedua, Maret 2012
Penerbit :
Sastra Unpad Press
Tempat
terbit : Jatinangor, Jawa
Barat
Tahun
terbit : 2012
Halaman
awal : i - x
Halaman isi :
1 - 193
ISBN :
978-602-8795-61-2
2. ISI BUKU
Buku
yang ditulis oleh Reiza D. Dienaputra ini menjelaskan sekitar Sunda, yang
meliputiSunda Sejarah, Budaya dan Politik. Buku
ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama tentangSunda dan Sejarah,
dalam bagian ini dijelaskan bagaimana urang Sunda pada masa lalu, dan
permasalahan-permasalahan yang terdapat didalamnya dijelaskan dalam buku ini,
seperti peristiwa Bojongkokosan, Bandung Lautan Api, dan Hijrah Siliwangi. Pada
bagian kedua buku ini yaitu tentang Sunda dan Budaya, pada bagian
ini dijelaskan bagaimana kebudayaan yang ada di urang Sunda, sudah menjadi hal
tidak asing lagi di suatu daerah pasti ada yang namanya kebudayaan, karena
kebudayaan itu sendiri berasal dari kata “budaya” yang artinya hasil cipta,
karsa dan karya manusia. Maka di bagian ini dijelaskan bagaimana potret
kebudayaan urang Sunda, yaitu dilihat dari tradisi tulis menulis dan bahasa
yang digunakan di urang Sunda. Kemudian untuk bagian ketiga buku ini adalah menjelaskan
bagaimana Sunda dan Politik, terutama perpolitikan yang ada di
Cianjur, dijelaskan pula bahwa persentuhan urang Sunda dengan politik sudah
berlangsung sejak lama yaitu ketika berdirinya kerajaan Tarumanegara pada abad
ke-5.
Pada
bagian pertama buku ini adalah bahwa Reiza telah
menjelaskan mengenai Sunda dan Sejarah. Sejarah adalah peristiwa yang
benar-benar terjadi pada masa lampau yang melibatkan manusia sebagai pelakunya,
dan tidak terlepas dari ruang dan waktu. Berbicara mengenai sejarah Sunda tidak
hanya sekedar dimaknai secara statis sebagai informasi atau rangkaian fakta
tentang masa lalu urang Sunda tetapi juga perlu dimaknai secara dinamis sebagai
media untuk memahami dan menata perjalanan hidup urang Sunda pada saat ini dan
nanti. Akan tetapi Sejarah Sunda sebagai milik urang Sunda tampak
kurang mendapat perhatian untuk dimumule dengan baik karena
rendahnya kesadaran urang Sunda akan pentingnya sejarah Sunda.
Adapun
titik tolak sejarah urang Sunda yaitu kita bisa lihat dengan berdirinya kerajaan
pertama yaitu kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5 M. Dengan lahirnya kerajaan
pertama ini mempunyai makna penting bagi peradaban urang Sunda, yaitu merupakan
salah satu etnis pertama di nusantara yang bersentuhan dengan tulisan. Bukti
persentuhan urang Sunda dengan tulisan ini kemudian dijadikan titik tolak era
sejarah dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
Terlepas
dari hal itu untuk memaknai sejarah Sunda kita bisa lihat dari tiga guna
sejarah, yaitu:
a. Untuk
melestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok
bagi kelangsungan hidup.
b. Untuk
mengambil pelajaran dan teladan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa
lalu.
c. Sejarah
dapat berfungsi sebagai sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati atau
mengetai tempat manusia diatas muka bumi ini.
Selain
itu urang Sunda juga mempunyai sejarah yang memainkan peranan penting dalam
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa ini. Yaitu dengan terjadinya
peristiwa Bojongkokosan dan Bandung Lautan Api.
Menurut
Reiza peristiwa Bojongkokosan yang terjadi di Sukabumi pada tanggal 9 desember
1945, pada pukul 15.00 ini mempunyai makna yang sangat penting, diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Untuk
melestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok bagi
kelangsungan hidup;
b. Untuk
mengambil pelajaran dan teladan dari peristiwa-peristiwa masa lalu;
c. Sejarah
dapat berfungsi sebagai sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati atau
mengenai manusia di atas muka bumi ini.
Adapun
alasan wilayah dipilihnya Bojongkokosan sebagai tempat penghadangan ini adalah
karena wilayahnya yang strategis dan merupakan daerah berbukit-bukit yang
terletak memanjang di antara kedua tepi jalan raya sepanjang kurang lebih 400
meter.
Selain
peristiwa Bojongkokosan yang terjadi di Sukabumi, Bandung pun ikut berperan
dalam menghadang sekutu. Karena Bandung pun menjadi target penguasaan sekutu
yaitu sekutu berusaha membersihkan bandung Utara dan Bandung Selatan. Sebagai
langkah awal sekutu berupaya membersihkan Bandung Utara dari orang-orang
pribumi dann pasukan bersenjata, baik TKR (TRI) maupun lascar-laskar
perjuangan. Pada tanggal 27 November 1945 sekutu mengeluarkan sebuah ultimatum
agar rakyat dan semua pasukan bersenjata keluar dari wilayah Bandung Utara
paling lambat pukul 12 siang tanggal 29 November 1945.
Sedangkan
langkah sekutu yang dilakukan di Bandung Selatan adalah tidak jauh berbeda
dengan yang dilakukan di Bandung Utara yaitu membersihkan Bandung Selatan dari
pasukan TRI dan lascar-laskar perjuangan, dan mengeluarkan ultimatum pada
tanggal 17 Maret 1946, dan batas akhirnya adalah 24 Maret 1946 jam 24.00.
Dengan
adanya peristiwa Bandung Lautan Api ini mempunyai makna yang bisa kita jadikan
sebagai sebuah pelajaran, diantaranya adalah:
a. Adanya
kesadaran yang tinggi akan adanya identitas yang tinggi sebagai bangsa yang
merdeka;
b. Adanya
kerelaan berkorban dari segenap elemen masyarakat demi tercapainya tujuan
bersama;
c. Kemanunggalan
tentara dengan rakyat;
d. Merupakan
sebuah daya mati jika kurangnya kapasitas dan lemahnya koordinasi untuk
menjalankan secara optimal aksi pembumihanguskan.
Pada
bagian pertama ini juga sekilas dijelaskan mengenai sejarah Jawa Barat yang
merupakan salah satu propinsi tertua yang ada di Indonesia, dan merupakan
propinsi yang menjadi hunian yang multi etnis dan secara otromatis multi
budaya.
Adapun
lahirnya sejarah Jawa Barat menurut Reiza dapat dibagi dalam dua pembentukan
diantaranya:
a. Dibentuk
pada tanggal 1 Januari 1926 dan tertuang dalam Staatsblad tahun
1925 Nomor 378 tanggal 14 Agustus. Dan ini merupakan produk pemerintah kolonial
Belanda yangndapat dikatakan berakhir pada tahun 1942 setelah Jepang menghapus
wilayah administrasi pemerintahan setingkat propinsi.
b. Kelahiran
kembali Jawa Barat sebagai sebuah propinsi terjadi pada tanggal 19 Agustus 1945
dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Secara
umum sejarah Jawa Barat dapat didekati dengan membaginya dalam dua periodisasi
besar, yakni masa sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan. Masa
sebelum kemerdekaan meliputi masa Hindu-Budha, masa Islam, masa penetrasi
Barat, dan masa penetrasi Jepang. Sedangkan pasca kemerdekaan ditandai dengan
berbagai peristiwa besar, diantaranya Peristiwa Bojongkokosan, Bandung Lautan
Api, dan lain sebagainya.
Menurut
reiza bahwa propinsi Jawa Barat kini dihadapkan dengan berbagai tantangan yang
semakin berat, yang tidak saja berasal dari luar, tetapi juga berasal dari
dalam. Factor dari dalam yaitu denga adanya globalisasi yang semakin intens
yang secara kualitatif berbeda dengan era sebelumnya, suka atu tidak suka,
telah menempatkan Jawa Barat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
percaturan dunia.
Adapun
tantangan dari dalam adalah berkait erat dengan daya tahan penduduknya dalam
menghadapi pengaruh mondialisasi, khususnya dalam mempertahankan identitas dan
jati dirinya sebagai orang Indonesia, atau lebih khusus lagi sebagai warga Jawa
Barat.
Bagian kedua buku
ini adalah menjelaskan antara Sunda dan Budaya. Budaya menurut Koentjaraningrat
adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa yang terbentuk dalam
tiga wujud baik ide, aktivitas atau interaksi manusia dan benda-benda hasil
aktivitas manusia itu sendiri[1].
Menurut
Reiza bahwa kebudayaan yang ada di urang Sunda dipandang lemah dan kurang
berkembang karena factor berpengaruh paling besar adalah karena ketiadaan
strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca,
tulis, dan lisan di kalangan Sunda. Pada intinya adalah minimnya karya-karya
tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh orang
Sunda. Menurut A. Chaedar dalam buku yang ditulis oleh Reiza ini bahwa ada
sebelas ayat sesat yang dapat menyebabkan lemahnya daya tulis, salah satu
diantaranya adalah mempunyai rasa “anggapan, anggapan dan anggapan”, mempunyai
anggapan bahwa literasi adalah kemampuan membaca, mempunyai anggapan bahwa
mahasiswa tidak perlu diajari menulis, dan lain sebagainya. Dan ini terbukti
dengan realitas yang ada di urang Sunda. Urang Sunda selalu mengatakan dan
beranggapan “ah ntos we cekap abdi mah kieu”, jika urang Sunda
terus berparadigma seperti ini, maka kebudayaan yang ada di urang
Sunda tidak akan pernah berkembang. Sehingga apa yang telah dijelaskan oleh
Reiza dalam buku ini adalah sangat menggugah bagi para pembaca, khususnya bagi
urang Sunda, bahwa lemahnya kebudayaan urang Sunda adalah dilatarbelakangi oleh
minimnya karya-karya tulis kebudayaan Sunda dan lemahnya tradisi tulis yang ada
di kalangan Sunda, padahala urang Sunda dalam sejarah termasuk orang pertama
yang menemukan tulisan.
Selain
tradisi menulis salah satu unsure kebudayaan yang ada di urang Sunda adalah
“bahasa Sunda” yang sekarang dipandang sudah mulai hilang dengan adanya arus
globalisasi. Akan tetapi kita khususnya sebagai urang Sunda jangan kalah dengan
yang namanya globalisasi bahkan kalau bisa globalisasi tersebut dijadikan
sebagai penguatan bahasa Sunda. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Reiza bahwa
banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjadikan bahasa Sunda tetap bertahan dan
menaklukkan globalisasi, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Menjadikan
bahasa Sunda ramah dengan berbagai perangkat globalisasi;
b. Mengoptimalisasikan
pemanfaatan keluarga sebagai tempat sosialisasi kebudayaan;
c. Dan
pada tingkat pemerintahan perlu adanya penguatan-penguatan political
will.
Kemudian
bagian ketiga buku ini adalah menjelaskan bagaimana
Sunda dan Politik, terutama sistem politik yang ada di Cianjur. Dalam buku ini
dijelaskan bahwa persentuhan urang Sunda dengan politik dapat dikatakan telah
berlangsung lama, sama tuanya denga perjalanan bangsa ini. Faktanya adalah
ketika kerajaan Tarumanegara yang berdiri pada abad ke-5. Setelah kerajaan ini
runtuh kemudian di susul dengan berdirinya kerajaan Sunda Padjajaran dari tahun
670 M sampai 1579 M. akan tetapi dengan runtuhnya kerajaan Sunda ini tidak
menghilangkan persentuhan antara Sunda dengan Politik, karena setelah runtuhnya
kerajaan Sunda Padjajaran urang Sunda berhasil menciptakan dua pentas politik
baru, yaitu kesultanan Cirebon dan Banten.
Menurut
Reiza sejalan dengan Zeitgeist (jiwa zaman) bahwa perpolitikan urang Sunda
berhasil menciptkan politik-politik baru yang menunjukan jati diri urang Sunda
yang selalu responsive terhadap setiap perubahan yang terjadi. Apalagi di era
kemerdekaan panggung-panggung politik urang Sunda semakin lengkap lagi dengan
tidak hanya berada pada tataran suprastruktur politik akan tetapi pada tataran
infastruktur politik.
3. Kelebihan
Buku
ini sangat penting untuk dibaca dan dipahami, terutama bagi kalangan urang
Sunda. Karena buku ini bisa menyadarkan bagi urang Sunda yang sudah banyak
amnesia terhadap sejarahnya sendiri. Padahal sejarah itu tidak hanya sebagai
peristiwa yang terjadi masa lalu yang bisa ditinggalkan begitu saja, akan
tetapi dibalik peristiwa tersebut terdapat suatu makna yang dapat kita ambil
sebagai pelajaran untuk kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
Buku
ini adalah berupa kumpulan-kumpulan artikel yang dibukukan dan disusun dengan
cara yang berbeda. Dalam buku ini terdapat tiga belas artikel, yaitu 6 artikel
mengenai Sunda dan Sejarah, 4 artikel mengenai Sunda dan Budaya, dan 3 artikel
mengenai Sunda dan Politik. Buku ini disusun secara sistematis sehingga mudah
dipahami bagi yang membacanya.
Dengan
membaca buku ini memberikan pelajaran dan pemahaman bagi kita betapa pentingnya
sejarah Sunda, dan memberikan motivasi untuk kita terus melestarikan kebudayaan
yang ada di urang Sunda, terutama budaya menulis dan bahasa. Yang mana bahasa
Sunda sudah mulai mau menghilang dengan adanya arus globalisasi. Khususnya bagi
urang Sunda janganlah kalah dengan adanya globalisasi, justru dengan
globalisasi tersebut kita jadikan alat sebagai penguat bahasa yang ada di urang
Sunda yaitu “bahasa Sunda”, seperti yang telah dijelaskan oleh Reiza dalam buku
ini. Selain melestarikan dalam segi bahasa, urang Sunda juga harus memperkuat
dalam tradisi tulis menulis sehingga bisa menghasilkan suatu karya, dan urang
Sunda adalah orang pertama yang menemukan tulisan harus bisa membuktikan bahwa
urang Sunda mampu untuk berkarya menulis.
Kekurangan
Buku
ini terlalu banyak halaman nya, sehingga terkadang orang malas untuk
membacanya.